6 orang penumpang turun dari bus jurusan Cirebon –
Jakarta di pintu keluar tol Jatibening. Beberapa orang nampak tidak puas dengan
penurunan tersebut. salah satu di antaranya, seorang bapak yang membawa anak gadis
mencoba melakukan protes.
“Pak, tadi di Cikopo bapak bilang bus ini ke Kp
Rambutan. Kenapa kita diturunkan di sini?”
“Busnya mau langsung ke Pulo Gadung. Jalan menuju Kp
Rambutan sedang banjir. Jadi yang mau ke Kp Rambutan harus turun di sini.” Jawab
seorang kenek dengan suara lantang.
“Tapi pak, ini sudah jam 1 pagi. Mana ada angkutan
ke Kp Rambutan yang lewat sini? Ini tidak sesuai kesepakatan, Pak. Saya minta
ongkos saya kembali,” pinta bapak itu.
“Kondekturnya lagi tidur. Sana kamu minta sendiri! Udah
lah, bus mau jalan lagi. Jangan sampai kamu saya kasarin!” bentak kernet
tersebut.
Anak gadis itu mendekati ayahnya, menarik lengannya untuk
mengalah dan mundur. Jadilah 6 orang turun dari bus di tengah kegelapan. Saya,
salah seorang di antaranya.
Beberapa menit kami menunggu bus. Tidak ada satu pun
jurusan Kp Rambutan yang lewat. Saya baru sadar, bus jurusan Bekasi – Kp Rambutan
tidak beroperasi lagi jam segini. Memang ada 1 bus asal Tasik yang lewat, tapi
mereka tidak berhenti, sepertinya enggan (takut) menarik penumpang di tengah
kegelapan malam seperti itu.
“Lalu kita mau naik apa, Pak?” tanyaku kepada
seorang kakek yang hendak menuju Bogor.
“Kita ke atas dulu, ke jalan kampung. Siapa tau ada
angkot menuju Kp Rambutan,” jawab kakek itu.
Kami pun berenam mulai melangkahkan kaki mencari
jalan ke perkampungan penduduk. Kami sama sekali tidak saling mengenal. Tujuan akhir
kami pun beda-beda. Tapi kami merasa, berjalan bersama-sama pada malam itu
cukup menenangkan perasaan masing-masing, kami merasa tidak sendirian di suatu
tempat yang menurut kami asing. Ya, asing. Belum pernah kami terdampar di suatu
tempat lewat jam 12 malam karena sebuah bus kota yang menurunkan penumpang
secara sepihak.
Sampai di ujung jalan menuju ke perkampungan
penduduk, bapak yang dari tadi tidak melepaskan tangannya kepada putrinya itu
bertanya kepada seseorang yang sedang berdiri.
“Pak, di atas ada angkot ke Kp Rambutan gak ya?”
“Coba saja pak, yuk kita ke atas,” jawab orang
itu sambil berjalan menuju ke perkampungan.
“Pak, bapak mau ke mana pak?” tiba-tiba seorang
sopir taksi datang bertanya.
“Kp Rambutan, Pak.” Jawab salah satu penumpang.
“Ayuk naik taksi aja borongan, 150 ribu 4 orang. Di
sini udah gak ada angkutan, Pak. Kalau mau naik angkutan harus nunggu sampai
pagi. Jangan percaya sama orang yang ngajak tadi.”
Kami kebingungan, dalam kondisi seperti ini, siapa
yang harus kami percaya. Saat itu saya tidak melihat lagi 2 penumpang lainnya,
entah ke arah mana mereka. Kini hanya tersisa 4 orang. Saya, ayah dan putrinya,
dan seorang kakek.
Sang kakek tiba-tiba berbisik. “Sudah, yuk kita ke
perkampungan penduduk dulu. Saya masih yakin ada angkot di atas.” Kami pun
mulai melangkah kembali.
Tiba di atas, keadaan sangat sepi, meskipun itu
perkampungan penduduk. Hanya ada beberapa motor di pangkalan ojek. Beberapa di
antara mereka menghampiri.
“Mau ke mana, Pak?”
“Rambutan, Pak,”saya menjawab.
“Udah gak ada angkot di sini. Ayuk ke ujung aja,
nanti ada angkot menuju Rambutan.”
Tidak ada dari kami yang menerima ajakan itu. Entah
karena tidak ingin mengeluarkan ongkos besar, entah tidak percaya terhadap keamanan
diri kami nanti. Yang jelas, kami hanya ingin pulang menggunakan angkutan,
bersama-sama.
Kami mengalami kebuntuan. Kami duduk sambil
berpikir. Entah siapa yang memulai, kami saling mengobrol mengenai asal dan
tujuan. Sang kakek hendak ke Bogor, akan naik bus dari Kp Rambutan. Sang bapak
hendak ke Blok M, bersama putrinya kisaran usia SMA.
“Seumur hidup saya tidak terima dibohongi, dibentak,
dicaci sama kernet. Cepat atau lambat dia akan celaka!” ungkap sang bapak
menggunakan bahasa sunda mengungkapkan kekesalannya.
Sang kakek masih belum puas, rupanya ia masih yakin
ada angkot yang melintas di sudut jalan lain. Dia pun mengajak kami melangkah
lagi. 500 meter kami berjalan, tapi jalan raya malah semakin sepi dan gelap
dari penerangan. Ketika sampai di tikungan, kami melihat taksi berwarna biru
sedang beristirahat di pinggir jalan. Sang bapak kembali bertanya akan angkutan
yang menuju Kp Rambutan. Namun jawabannya sama, angkutan sudah tidak ada lagi.
“Mendingan bapak naik taksi saya saja. Argo saya
hidupkan, jadi nanti tarifnya sesuai argo,” jawab sopir taksi itu dengan bahasa
Jawa yang kental.
“Kira-kira berapa pak, sampai Rambutan?” tanya sang
bapak.
“Sekitar 80 ribu, Pak. Bapak kan berempat. Jadi bisa
patungan 1 orang 20 ribu.”
“Bisa kurang gak pak, 60 ribu sampai Rambutan?”
tawar sang bapak.
“Maaf pak, itu sudah perkiraan sesuai argo. Taksi kami
gak berani matiin argo. Kami bisa disanksi kalau melakukannya. Silakan bapak
cari taksi lain dulu, siapa tau ada yang lebih murah dari saya.”
“Pak, saya kira itu sudah cukup murah. Taksi ini gak
akan bohongi kita. Semua akan berjalan sesuai argo,” terang saya kepada sang
bapak, sudah sangat letih, ingin segera pulang saja.
“Terus bagaimana kalau kenyataannya lebih dari 80
ribu?” sang bapak bertanya lagi.
“Saya yang tanggung, Pak. Niat saya hanya ingin membantu
bapak-bapak,” sopir taksi itu meyakinkan.
Kami pun menyudahi perjalanan malam itu dengan naik
taksi. Di dalam taksi, sang sopir tak hentinya memberikan informasi akan jam
angkutan umum dan bus-bus yang akan melewati pintu keluar tol tadi.Tidak ada banjir atau apapun yang menghalangi perjalanan kami ke terminal Kp Rambutan.
Tibalah kami di terminal Kp Rambutan pukul 02.30. Kami semua berterima kasih langsung kepada pak sopir yang telah mengantar kami.
Di luar taksi, kami semua bersalaman, sang kakek mendoakan agar kami semua
dapat selamat di tujuan masing-masing.
Cerita ini nyata dialami oleh penulis. Mungkin sudah banyak yang mengalami kejadian serupa.
Mungkin sudah banyak pula, yang menganggap kejadian ini lumrah dilakukan oleh para kernet bus kota.
Mungkin sudah banyak pula, yang menganggap kejadian ini lumrah dilakukan oleh para kernet bus kota.
Mantap Artikelnya, Kunjungi Blog Kami :
BalasHapuspt ncs
pt ncs
pt ncs
pt ncs
pt ncs
pt ncs
Inisial bus b**n**a bukan gan ? kalo ia sama aja gan pengalaman ane sama . . masa belom jauh dari cirebon udah dioper..
BalasHapus